4 Mei 1995
Waktu belum menunjukkan pukul 12 tepat, saat ia beranjak dari tempat duduknya, seolah menyambut seseorang yang datang bersemangat menghampirinya.
Di tangan gadis berkerudung itu, tampak dua ikat rangkaian bunga Rose, satu serangkaian Rose berwarna putih bersih, sementara ikatan yang lain dipenuhi Rose berwarna merah hati.
Seraya menghulurkan rangkaian Rose yang berwarna putih tadi, gadis itu berkata kepadanya “Terima kasih banyak Pak, atas bimbingan dan dukungan Bapak selama ini, mohon doanya agar ilmu yang saya dapat selama ini bisa bermanfaat, saya pamit”.
“Sama-sama Rin, Jaga dirimu baik-baik” ucapnya lirih.
Pandangannya tak pernah lepas dari gadis itu, hingga ia bisa melihatnya merangkul seorang wanita dan laki-laki setengah baya dan seorang anak kecil, yang mungkin adik Sang gadis.
“Haruskah kau pergi sekarang, Nak?” seruaknya dalam hati.
27 Juni 2001
“Aku berangkat nanti sore Zen, ini ada sebuah bingkisan untukmu”, tiba-tiba suara itu mengagetkannya yang sudah lebih dari 2 jam menunggu di taman mungil di dekat Dam sungai, tempat mereka biasa menghabiskan sore setelah puas bermain basket seusai sekolah.
“Oh mendadak sekali Ndi, memang besok benar-benar harus sudah ada di Magelang?” tanyanya menerawang, sambil menerima bingkisan mungil yang dibungkus kertas kado bergambar motif batik berwarna coklat muda itu.
“Yup, begitulah, besok aku sudah harus orientasi di kampus para Jenderal itu, mohon doamu Sobat, terima kasih atas semua kenangan persahabatan kita, kamu juga semoga sukses UMPTN-nya ya!” balasnya ringan.
Jabatan hangat ia rasakan disusul raungan klakson mobil seolah memanggil pemiliknya untuk bergegas masuk ke dalamnya.
“Haruskah kau pergi sekarang, Sobat?” seruaknya dalam hati, menatap Andi yang berlari kecil menuju sebuah sedan Chevrolet berwarna hijau metalic itu.
13 Januari 2004
Seharian ini ia mengurung diri di kamar, Anwar sampai kehabisan akal memaksanya keluar untuk sekedar makan. “Mas Rangga udah menunggumu di ruang tamu tuh, keluarlah, ga enak ma keluarga Mas Rangga, bentar lagi taksi menjemput mereka” bisik Anwar di dekat jendela kamarnya yang sedikit terbuka.
“Sudahlah, saat ini pasti akan terjadi, tinggal tunggu waktunya saja, bentar lagi kau juga akan bisa melupakannya, lagian kan masih ada kami di sini : aku, Wawan, Dodi, Mas Anto dan Haikal” tambah Anwar ringan.
Ia bergegas keluar kamar, tunggang langgang, persis seperti korban kebakaran yang berusaha menerobos apa saja di hadapannya, menuju pintu keluar, saat klakson taksi mendarat di halaman rumah kosan di tepi bukit itu.
“Mas Rangga, tunggu!” teriaknya dengan terisak.
“Mas harus pergi sekarang De, kamu jaga diri baik-baik ya, jangan makan mie instan mlulu ya, ga baik buat ususmu” dekap Mas Rangga dengan tawa kecilnya yang hangat.
“Haruskah kau pergi sekarang, Mas?” seruaknya dalam hati, ia enggan melepaskan pelukan seseorang yang sudah ia anggap kakak terbaiknya itu.
22 Desember 2005
Bau harum Opor Ayam membangunkannya, yang tak sadar tertidur di atas sofa di ruang tengah setelah seharian penuh berbenah “mengepak” buku-buku dan barang-barangnya yang lain ke dalam kardus-kardus yang ia beli di TOTEM sore kemarin.
“Bangun dulu Gus, kamu belum sholat Ashar lho, bentar lagi maghrib”, suara lembut itu hadir menyapanya sesaat setelah ia membuka matanya.
“Ibu sudah masak Opor Ayam kesukaanmu, habis mandi makan ya, jadi saat orang tuamu menjemput nanti malam, perutmu sudah terisi, takut masuk angin karena perjalanan malam” tambah Bu Karti lembut.
Ia menatap lekat wajah Bagus, saat anak muda yang sudah ia anggap “anak sendiri” itu pamit untuk meninggalkannya. Tak terasa butiran hangat menetes dari sudut matanya.
“Sering-sering kontak ibu ya Gus, yah kalo Bagus pas ada waktu” ucapnya lirih, setengah terisak.
“InsyaAllah Bu, terima kasih sudah mau menerima Bagus selama 4 tahun ini, jaga diri ibu baik-baik ya” jawab Bagus lirih.
“Haruskah kau pergi sekarang, Nak?” seruak wanita berumur 62 tahun itu dalam hati.
4 April 2008
Wajahnya nampak bercahaya, bersih dan sungguh memancarkan aura yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Di dekatnya, seruak tangis menggelegar memenuhi ruang ICCU yang bernuansa putih, dinding dan segala perabot yang ada di dalamnya, serupa rumah salju Eskimo.
“Ikhlaskanlah Bu, Annisa telah bahagia menemui Tuhannya di Surga” ucapnya menenangkan.
Ia menatap lekat wajah ayu itu untuk terakhir kalinya. Gadis berusia 21 tahun itu telah menjadi teman terbaiknya selama 2 bulan ini, setidaknya ia mulai sering bisa bercerita kembali, semenjak ia telah lupa dengan kebiasaan itu.
“Ia suka sekali cerita ‘ The Three Musketeer’-nya Agatha Christy, menantang katanya. Setegar ia menantang Chemo-teraphy yang harus ia jalani rutin 2 bulan terakhir ini. Ia benar-benar pasien terbaik yang pernah saya jumpai selama saya bertugas di rumah sakit ini” kenangnya menerawang.
“Terima kasih Dok” ucap wanita setengah baya di sebelahnya.
“Haruskah kau pergi sekarang, Nisa?” seruak dokter muda itu dalam hati.
24 Juli 2010
Angin malam benar-benar telah menusuk seluruh persendiannya kala itu, namun pemandangan kerlipan lampu beraneka warna yang terpancar dari rumah-rumah di kaki bukit, tepat di bawah jalanan menurun yang ia lalui sekarang, membuatnya tak pernah memperdulikan linunya tulang-tulang di bawah kulitnya itu.
“Luar biasa ya Fi, indahnya kota ini di malam hari” Bisiknya takjub.
“Nanti kapan-kapan kutunjukkan tempat yang lebih indah dari ini, tempat kau bisa melihat semburat jingga sunset dengan sempurnanya, tempat kau seolah bisa meraih bulan dan bintang-bintang tepat digenggaman tanganmu” seru Yofi sambil memacu Honda Blade-nya menuruni jalan bukit yang berkelok itu.
“Beneran ya Fi, aku suka tempat-tempat seperti itu, rasanya aku sanggup berlama-lama di sana” balasnya bersemangat.
“Haruskah kau pergi sekarang, Fi?” seruaknya dalam hati. Sungguh aku tak bisa menginginkanmu untuk lebih lama bersamaku, rasanya memori terbaik sehari itu, sudah sangat cukup bagiku.
.........................................................................................................
Memiliki...
Aku ingin memilikimu....
Dia ingin memilikinya....
Mereka ingin memilikinya...
Kalian pun mungkin ingin memilikinya...
Tapi
aku bukan siapa-siapamu...
Dia juga bukan siapa-siapanya...
Mereka bukan siapa-siapanya...
Dan kalian pun bukan siapa-siapanya...
Rina, gadis berkerudung itu, bukan siapa-siapanya. Lelaki tua itu hanya seorang dosen yang telah menganggapnya sebagai anaknya, yang mengisi hari-harinya selama 4 tahun ia menempuh pendidikannya di kampus di pinggiran kota itu. Dan ia harus merelakannya, kembali kepada keluarganya, di hari wisudanya.
Andi juga bukan siapa-siapanya. Zaenudin hanya sahabat karibnya, mereka bertemu di saat MOS di SMU nomor 1 di kota kecil itu. Dan taman mungil di dekat sungai dan Gedung tua PMI itu adalah markas yang menjadi saksi persahabatan mereka selama 3 tahun itu. Dan ia harus merelakannya, melepasnya menjemput impiannya menjadi seorang Perwira di Bukit Tidar.
Mas Rangga pun bukan siapa-siapanya. Ia pertama kali bertemu dengannya saat senyum hangat Mas Rangga menyambutnya di rumah kosan bercat dinding warna kuning pastel itu. Ia masih mahasiswa baru (MABA) kala itu. Dan selama itu, ia mengenal sosok Mas Rangga sebagai seorang kakak yang selalu mendukungnya, membantunya dalam hal apapun selama ia hidup jauh dari orang tuanya di tempat rantau itu. Dan ia harus merelakannya, kembali kepada keluarganya, di malam purnama kala itu.
Bagus bukan siapa-siapanya. Bu Karti hanya seorang janda pensiunan TNI yang terpaksa menyewakan beberapa kamar di rumahnya untuk kos-kosan mahasiswa yang kuliah di kampus di dekat kompleks perumahan yang ia tempati sekarang, untuk menambah pemasukan uang bulanannya yang rasanya sudah tidak cukup lagi bila hanya mengandalkan uang pensiunan almarhum suaminya yang hanya berpangkat kopral itu. Namun, ia sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Bahkan ia sangat canggung saat setiap bulan menerima uang kosan dari Bagus. Rasanya tidak pantas seorang ibu menagih uang kosan dari anaknya sendiri. Dan ia harus merelakannya, kembali kepada keluarganya, di malam dua hari setelah Bagus diwisuda sebagai seorang Sarjana Teknik (S.T.) dari kampus negeri terkenal di kota itu.
Pun dengan Annisa, ia bukan siapa-siapanya. Hubungannya yang paling terang secara profesional hanyalah sebatas Dokter dan Pasien. Namun, selama 2 bulan itu, ia merasa Annisa telah mengisi kekosongan ruang jiwanya yang selama ini beku dan tertutup rapat. Ia seperti menemukan kembali kehangatan taman jiwanya saat ia bisa kembali menjelajah alam mimpinya bersamaan dengan bibirnya yang bersemangat membacakan halaman demi halaman buku-buku cerita yang sengaja ia bawa dari perpustakaan pribadi di rumahnya setiap harinya, di sore menjelang senja, di taman Flamboyan di sudut rumah sakit itu. Dan ia harus merelakannya, kembali kepada Sang Pencipta-Nya, di pagi mendung kala itu.
Sementara Yofi, bukan siapa-siapaku. Tak ingat kapan semua itu bermula, Ia datang mengisi hari-hariku dengan penuh tawa dan luapan semangat yang membumbung mengangkasa. Sumber dari banyak inspirasiku. Merangkai mimpi mencapai asa besar kami. Kehadirannya membuatku selalu ingin menjadi yang terbaik di hadapannya. Dan setelah momen indah itu, aku [berjanji] akan merelakannya, melepasnya terbang bebas menggepakkan sayap kokohnya, menggapai asanya.
.........................................................................................................
Salahkah bila kami berangan memiliki?
Kami memang bukan siapa-siapa[nya], tapi sungguh hati kami telah menjadi miliknya.
Entah sejak kapan kala itu ada.
Jatinangor, 5 Agustus 2010 [0.04 pm]
Didedikasikan : untuk mereka yang telah dan selalu menjadi sumber inspirasiku
[tanpa kau tahu, hati ini telah menjadi milikmu]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar