Senin, 11 Juli 2011

Kelana Jiwa


“Pulanglah!”
“Saat ini benar-benar saatmu harus pulang”

“Benar Tuhanku, sekarang aku siap untuk pulang”

.................................................................................................

Di bawah kemilau sinar mentari pagi yang menghangat,
Diiringi lantunan gema Adzan yang membumbung memenuhi ruang putih kokoh nan bersih itu,
Ia pertama kali membuka matanya yang bening,
seraya memuji asma Tuhannya dalam nyaring tangis yang menggelegar,
disambut kalimat syukur dari mereka yang hadir pagi itu.

Ia turun ke bumi, menembus dimensi berlapis,
menyempurnakan buku takdirnya,
dengan satu misi yang ia janjikan di hadapan Tuhannya kala itu.

“Hingga sampai saatnya tiba, kau harus kembali”

.................................................................................................

Senyum mengembang senantiasa memenuhi ruang jiwa dua insan mulia yang merengkuhnya dalam hangat dan penuh akan kasih yang tulus.
Dua hati yang rela menjaganya dari apapun, menuntunnya menelusur taman bernama “kehidupan”,
Dua hati dimana Tuhan meletakkan ridho atas dirinya.

“...melalui himpun kasih putih yang tulus itu, Tuhan menjaga dan mengingatkanku akan janji takdirku”

Sesaat setelah kepergian keduanya, Tuhan pernah memintanya :
“Pulanglah, telah kau penuhi jalan takdirmu”

“Belum Tuhan, ijinkan aku menyelesaikannya, ada jiwa yang masih terikat dengan jiwaku”

.................................................................................................

“Kau boleh merengkuhnya, tapi sekali kau mengikatnya terlalu dalam, ingatlah sekali itu pula tanpa sadar kau tengah mengudarnya”

“Baiklah Tuhan, aku akan memperhatikannya”

.................................................................................................

Beriring angin hangat bulan Agustus,
Tuhan pernah membawanya ke tanah kering berbatu, yang masih mengalir gemericik air di kaki bukitnya,
Menjumpai jiwa-jiwa yang akan menjadi pengisi takdirnya.

Penuh taman jiwanya kala itu, puas dahaga kasihnya tersirami,
Ia melukis romansa paling indah dalam kanvas berbingkai, hadiah dari Tuhannya

Saat tinta terakhir menggoresnya,
Dalam puncak ekstase kasih dan bhakti jiwanya,
Ia (lupa) terlalu dalam menapakkan lekukannya,

Tuhan mengingatkannya : “Tinggalkanlah, sesungguhnya Aku melihatnya”

“Baiklah Tuhan, aku akan memperhatikannya”

.................................................................................................

Selayak musafir, jiwanya kembali mengelana menyusur rona pelangi,
Dan Tuhan membawanya menuju tanah basah nan menghijau, bersamaan dengan tiupan lembut angin bulan April, menerbangkan kelopak bunga krisan memenuhi jalan takdirnya.
Menambatkan hati pada jiwa-jiwa yang akan menjadi pengisi takdirnya.

Jiwanya melambung, azzamnya menggelegar memecah cakrawala bukit kasih,
Ia merasakan nilai jiwanya yang paling sempurna,
Ia menjadi sufi atas hiruk kasih yang mendekapnya,
Ia merasakan pilar takdir benar-benar telah terpancang di tempat yang paling nyata,
Namun, ia (kembali lupa) memancangkannya terlalu dalam,

Dan Tuhanpun kembali mengingatkannya : “Sudahilah, sesungguhnya Aku melihatnya”

“Baiklah Tuhan, aku akan memperhatikannya”

.................................................................................................

Malam ini,
Jiwa itu terkapar dalam balutan kabut tipis nan sunyi,
Nyanyiannya tak lagi runtut ritme,
Ia merebahkan sayap kelanannya,
Tersungkur dalam sujud hatinya yang terdalam,
Remuk dalam tangis dan sendu sedan

.................................................................................................

“Aku akan menyudahinya, sekiranya aku telah memenuhinya, ridho-Mu menjadi pengharapan terakhir janjiku”
“Bahwa aku hanya akan hadir di tengah mereka, menghaturkan Agung kasih-Mu, menjalani jalan takdirku, dan kembali kepada-Mu”

Atas semua ikatan yang terlalu dalam itu, sungguh Engkau telah mengingatkanku, dan sekiranya aku menjadi hamba yang memperhatikan-Mu

.................................................................................................

“Tunggu!”
“Tengoklah di belakangmu, tidakkah kau dengar ada jiwa yang memanggilmu?”
“Penuhilah! Dan tepati janjimu, ingat rambu petunjuk-Ku”

“Baiklah Tuhan, aku akan memperhatikannya”
.................................................................................................

Dan sayap itupun kembali terbentang,
Menjemput jiwa-jiwa yang akan menjadi pengisi takdirnya,
Sebelum Tuhan (kembali) memanggilnya untuk pulang,
Dengan satu janji antara ia dan Tuhan.



Bandung, 1 Desember 2010
[22:48]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar