Senin, 05 Desember 2011

"Ketika Mas Gagah Pergi" cerita yang tak lekang oleh waktu...

Dear brothers and sisters,
tadi pagi tak sengaja pas lagi rapi-rapi file di kotak arsip pribadi, tiba-tiba saya menemukan sebuah catatan kecil di balik sampul agenda yang terlihat sudah lusuh dimakan usia..

Di ujung catatan itu tertulis :
"Resensi Cerpen : Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) karya Helvi Tiana Rossa"
catatan itu adalah tulisanku 12 tahun yang lalu (maret 1999)...

Jadi serasa kembali ke masa itu, dari majalah Annida (yang ada di rak buku Masjid Al-Amin, SMU 1 Kota Pekalongan) pertama kali aku mengenal cerita ini...
Membaca kisah KMGP menjadi terasa begitu dekat dengan diri dan keseharian, bait demi bait ceritanya cukup kuat membuat hati ini gerimis.
Sosok Gita, sang pencerita, yang demikian sayang kepada abangnya, serta sosok Gagah seorang pemuda yang coba kembali mengamalkan Islam di tengah gaya hidup hedonis dan mapan di sekilingnya, sekalipun kerap kali dicap aneh, terus menjadi sosok-sosok yang seakan hidup dalam benakku waktu itu. 

Membuatku sedemikian tertarik untuk mengenal Islam lebih jauh kala itu.
Dan, jujur ceritanya tak pernah lekang oleh waktu...

So, saat sudah tak ada lagi cerpennya di dekatku, siang ini aku tertarik untuk mencarinya, ternyata ada versi e-cerpennya.
Sekedar berbagi, mudah2an kalian juga tertarik membacanya dan mengambil hikmah dari cerita ini, seperti yang aku rasakan 12 tahun lalu itu..

Boleh downlod di sini

Selamat membaca!!
Mas sayang kalian semua...

Jumat, 07 Oktober 2011

Merunut Makna Cinta

Cinta memang sesuatu yang sulit untuk ditelusur...
Ia datang tanpa diminta dan pergipun seenaknya saat hati kita (sebenarnya) belum mengijinkannya...

Tapi cinta adalah rasa yang Allah turunkan untuk memberi warna pada hidup dan kehidupan manusia,
ia menjadikan kita bisa melihat dunia dari kacamata yang berbingkai keindahan dan kebaikan...

Ia sulit untuk dituliskan, karena kekuatannya hanya ada saat ia dirasakan...

Namun, jangan salah...
Syaitan juga punya Cinta, Cintanya begitu besar untuk mengajak manusia berbaris di belakangnya,
menjadi pengikutnya, meramaikan neraka yang menyala-nyala dalam kekekalannya...
Cinta syaithan meliputi orang-orang yang buta dengan Cinta Ilahiah...
Ia merubah cinta suci dari Allah dengan segala tipu dayanya mejadi cinta yang disandarkan pada hawa nafsu dan syahwat semata...
Dunia dan kegemerlapannya menjadi senjata yang ampuh bagi syaithan untuk memperdaya manusia :
kecantikan/ketampanan, harta, jabatan, dan kedudukan sosial...
Semua itu telah diputarbalikkan oleh syaithan menjadi kedok pembalut Cinta...

Sementara, fitrah Cinta yang suci, Cinta Ilahiah, yakni Cinta yang kita sandarkan hanya dan untuk Allah, sudah lama kita lupakan, karena syaithan telah membutakan nurani kita...

Sejatinya, saat cinta bersemi di hati kita, saat Allah mengutus seseorang untuk kita cintai, kita kembalikan Cinta itu kepada Sang Pemilikinya, kepada aturan-aturan-Nya...

Sudahkah kita melakukannya saat itu?

Mungkin, Allah sedang menguji kita dengan kelemahan kita ini, Allah "cemburu" karena saat cinta sedang bersemi di kalbu, kita justru melupakan Allah, meninggalkan (aturan)-Nya..
Dan karena Allah sungguh sayang kepada kita, maka Dia mencabutnya kembali...
Agar kita berbenah diri, meluruskan hati, dan siap kembali menyambut Cinta-Nya...


Bandung, 03/10/2011
05.00 am

Jumat, 15 Juli 2011

Jejak-Jejak Terserak

Beginilah...
Apa yang terserak dalam lembar demi lembar cerita perjalanan ini....

Entah bagaimana dan dimana semua bermula
Dan entah akan seperti apa episode kesudahannya.....

Lembar jiwa yang lusuh ini mulai terkoyak dari kesejatiannya...
Entah sampai kapan berhenti dari menipu diri
Entah sampai kapan dapat berlepas dari topeng rombeng kepura-puraan
Sungguh, semua itu sangat menyesakkan...

Lantun suara ini serasa sudah tak mampu lagi berteriak...
Bahkan bisikan pun hanya tertahan, terdiam, di mulut kerongkongan....
Nyaris mencekik jalan napas jiwa ini

Nurani lara dalam luka yang menganga tak terobati
Busuk menusuk dan menjalar, merenggut denyut nadi yang biasa menghentak

Tak ada lagi pijar yang menerangi urat demi urat lingkar jalan jiwa
Cakrawala telah menutup pesonanya
Mengganti tabirnya dengan pekat gelap yang menghimpit

Oh jiwa....
Adakah kau mampu bertahan dalam gulita yang menggelayut ini?

.......................................................................

Di sini....
Hari ini....

Aku bukan sedang ingin bersuara....
Aku juga tidak sedang ingin menyalakan sebuah pelita...
Apalagi hendak mengganti cakrawala....

Aku hanya sedang merunut...
Mencoba merapikan serakan potongan cerita yang terkoyak tak terjelaskan
Mencoba menerka nada jiwa yang mulai sumbang tak runtut ritme...

Dan beginilah bait-bait ini tertuliskan :

Bila aku berdusta [selama ini],
Mohon pahami...
Bahwa ada potongan jiwa yang tak rela bila “kebenaran” hadir menjemputnya
Menenggelamkannya [kembali] dalam lara yang tak terperihkan...
Begitu hebat kenyataan menusukkan duri-durinya
Sungguh, jiwa ini sangat merindu “kebenaran”
Namun, ia belum sanggup memeluknya....

Bila aku terdiam [selama ini],
Mohon pahami...
Bahwa ada sejumput lara yang tak rela bila “nada” terlepas dari mulut jiwa
Membawanya [kembali] dalam riuh nestapa tak terobati...
Nestapa yang tak pernah bisa dimengerti siapapun
Sungguh, jiwa ini sangat merindu untuk berdendang kembali
Namun, ia belum sanggup melantunkannya...

Bila aku tak perduli [selama ini]
Mohon pahami...
Bahwa ada sejengkal hati yang tak rela bila “kasih” hadir menyiramnya
Menyeretnya [kembali] dalam pengabaian yang tak berkesudahan
Begitu tega mereka menelantarkan butir kasih yang telah tertunai
Sungguh, jiwa ini sangat merindu untuk berbagi kembali
Namun, ia belum sanggup merelakannya...

Bila aku menutup diri [selama ini]
Mohon pahami...
Bahwa ada rongga jiwa yang tak rela terjamahi
Menghanyutkannya [kembali] dalam cawan kasturi yang meracuninya
Racun yang telah menumpulkan kepekaannya akan dekap mesra jiwa yang lain
Sungguh, jiwa ini sangat merinduh kasih sayang
Namun, ia belum sanggup merengkuhnya...

.......................................................................

Di sini....
Hari ini....

Sekali lagi kukatakan :

Aku bukan sedang ingin bersuara....
Aku juga tidak sedang ingin menyalakan sebuah pelita...
Apalagi hendak mengganti cakrawala....

Aku hanya sedang merunut...
Mencoba merapikan serakan potongan cerita yang terkoyak tak terjelaskan
Mencoba menerka nada jiwa yang mulai sumbang tak runtut ritme...

Jiwa yang [selama ini] penuh dengan dusta
Jiwa yang [selama ini] hanya terdiam
Jiwa yang [selama ini] tak pernah perduli
Dan Jiwa yang [selama ini] telah menutup diri

Jiwa yang tidak pernah bisa memeluk “kebenaran” dari kenyataan
Jiwa yang belum sanggup melantukan “nada” kehidupan
Jiwa yang tidak mampu merelakan kembali untuk berbagi “kasih” dengan sesama
Dan jiwa yang belum bersedia merengkuh kembali dekap mesra sang kekasih

.......................................................................

Tapi...
Wahai jiwa-jiwa yang berjalan di sana...
Mohon pahami...
Bahwa sungguh jiwa ini sangat merindu....
Merindu untuk kembali pada kesejatiannya....
Merindu untuk berlepas dari topeng rombeng kepura-puraan...


Oh jejak-jejak jiwa yang terserak...
Bilakah engkau akan menyudahi perjalanan ini?
Merebahkan diri dalam dekap keabadian...




Kamis, 14 Juli 2011
Sebuah refleksi perjalanan seorang hamba

Rabu, 13 Juli 2011

Memiliki


4 Mei 1995
Waktu belum menunjukkan pukul 12 tepat, saat ia beranjak dari tempat duduknya, seolah menyambut seseorang  yang datang bersemangat menghampirinya.
Di tangan gadis berkerudung itu, tampak dua ikat rangkaian bunga Rose, satu serangkaian Rose berwarna putih bersih,  sementara ikatan yang lain dipenuhi Rose berwarna merah hati.
Seraya menghulurkan rangkaian Rose yang berwarna putih tadi, gadis itu berkata kepadanya “Terima kasih banyak Pak, atas bimbingan dan dukungan Bapak selama ini, mohon doanya agar ilmu yang saya dapat selama ini bisa bermanfaat, saya pamit”.
“Sama-sama Rin, Jaga dirimu baik-baik” ucapnya lirih.
Pandangannya tak pernah lepas dari gadis itu, hingga ia bisa melihatnya merangkul seorang wanita dan laki-laki setengah baya dan seorang anak kecil, yang mungkin adik Sang gadis.
“Haruskah kau pergi sekarang, Nak?” seruaknya dalam hati.

27 Juni 2001
“Aku berangkat nanti sore Zen, ini ada sebuah bingkisan untukmu”, tiba-tiba suara itu mengagetkannya yang sudah lebih dari 2 jam menunggu di taman mungil di dekat Dam sungai, tempat mereka biasa menghabiskan sore setelah puas bermain basket seusai sekolah.
“Oh mendadak sekali Ndi, memang besok benar-benar harus sudah ada di Magelang?” tanyanya menerawang, sambil menerima bingkisan mungil yang dibungkus kertas kado bergambar motif batik berwarna coklat muda itu.
“Yup, begitulah, besok aku sudah harus orientasi di kampus para Jenderal itu, mohon doamu Sobat, terima kasih atas semua kenangan persahabatan kita, kamu juga semoga sukses UMPTN-nya ya!” balasnya ringan.
Jabatan hangat ia rasakan disusul raungan klakson mobil seolah memanggil pemiliknya untuk bergegas masuk ke dalamnya.
“Haruskah kau pergi sekarang, Sobat?” seruaknya dalam hati, menatap Andi yang berlari kecil menuju sebuah sedan Chevrolet berwarna hijau metalic itu.

13 Januari 2004
Seharian ini ia mengurung diri di kamar, Anwar sampai kehabisan akal memaksanya keluar untuk sekedar makan. “Mas Rangga udah menunggumu di ruang tamu tuh, keluarlah, ga enak ma keluarga Mas Rangga, bentar lagi taksi menjemput mereka” bisik Anwar di dekat jendela kamarnya yang sedikit terbuka.
“Sudahlah, saat ini pasti akan terjadi, tinggal tunggu waktunya saja, bentar lagi kau juga akan bisa melupakannya, lagian kan masih ada kami di sini : aku, Wawan, Dodi, Mas Anto dan Haikal” tambah Anwar ringan.
Ia bergegas keluar kamar, tunggang langgang, persis seperti korban kebakaran yang berusaha menerobos apa saja di hadapannya, menuju pintu keluar, saat klakson taksi mendarat di halaman rumah kosan di tepi bukit itu.
“Mas Rangga, tunggu!” teriaknya dengan terisak.
“Mas harus pergi sekarang De, kamu jaga diri baik-baik ya, jangan makan mie instan mlulu ya, ga baik buat ususmu” dekap Mas Rangga dengan tawa kecilnya yang hangat.
“Haruskah kau pergi sekarang, Mas?” seruaknya dalam hati, ia enggan melepaskan pelukan seseorang yang sudah ia anggap kakak terbaiknya itu.

22 Desember 2005
Bau harum Opor Ayam membangunkannya, yang tak sadar tertidur di atas sofa di ruang tengah setelah seharian penuh berbenah “mengepak” buku-buku dan barang-barangnya yang lain ke dalam kardus-kardus yang ia beli di TOTEM sore kemarin.
“Bangun dulu Gus, kamu belum sholat Ashar lho, bentar lagi maghrib”, suara lembut itu hadir menyapanya sesaat setelah ia membuka matanya.
“Ibu sudah masak Opor Ayam kesukaanmu, habis mandi makan ya, jadi saat orang tuamu menjemput nanti malam, perutmu sudah terisi, takut masuk angin karena perjalanan malam” tambah Bu Karti lembut.
Ia menatap lekat wajah Bagus, saat anak muda yang sudah ia anggap “anak sendiri” itu pamit untuk meninggalkannya. Tak terasa butiran hangat menetes dari sudut matanya.
“Sering-sering kontak ibu ya Gus, yah kalo Bagus pas ada waktu” ucapnya lirih, setengah terisak.
“InsyaAllah Bu, terima kasih sudah mau menerima Bagus selama 4 tahun ini, jaga diri ibu baik-baik ya” jawab Bagus lirih.
“Haruskah kau pergi sekarang, Nak?” seruak wanita berumur 62 tahun itu dalam hati.

4 April 2008
Wajahnya nampak bercahaya, bersih dan sungguh memancarkan aura yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Di dekatnya, seruak tangis menggelegar memenuhi ruang ICCU yang bernuansa putih, dinding dan segala perabot yang ada di dalamnya, serupa rumah salju Eskimo.
“Ikhlaskanlah Bu, Annisa telah bahagia menemui Tuhannya di Surga” ucapnya menenangkan.
Ia menatap lekat wajah ayu itu untuk terakhir kalinya. Gadis berusia 21 tahun itu telah menjadi teman terbaiknya selama 2 bulan ini, setidaknya ia mulai sering bisa bercerita kembali, semenjak ia telah lupa dengan kebiasaan itu.
“Ia suka sekali cerita ‘ The Three Musketeer’-nya Agatha Christy, menantang katanya. Setegar ia menantang Chemo-teraphy yang harus ia jalani rutin 2 bulan terakhir ini. Ia benar-benar pasien terbaik yang pernah saya jumpai selama saya bertugas di rumah sakit ini” kenangnya menerawang.
“Terima kasih Dok” ucap wanita setengah baya di sebelahnya.
“Haruskah kau pergi sekarang, Nisa?” seruak dokter muda itu dalam hati.


24 Juli 2010
Angin malam benar-benar telah menusuk seluruh persendiannya kala itu, namun pemandangan kerlipan lampu beraneka warna yang terpancar dari rumah-rumah di kaki bukit, tepat di bawah jalanan menurun yang ia lalui sekarang, membuatnya tak pernah memperdulikan linunya tulang-tulang di bawah kulitnya itu.
“Luar biasa ya Fi, indahnya kota ini di malam hari” Bisiknya takjub.
“Nanti kapan-kapan kutunjukkan tempat yang lebih indah dari ini, tempat kau bisa melihat semburat jingga sunset dengan sempurnanya, tempat kau seolah bisa meraih bulan dan bintang-bintang tepat digenggaman tanganmu” seru Yofi sambil memacu Honda Blade-nya menuruni jalan bukit yang berkelok itu.
“Beneran ya Fi, aku suka tempat-tempat seperti itu, rasanya aku sanggup berlama-lama di sana” balasnya bersemangat.
“Haruskah kau pergi sekarang, Fi?” seruaknya dalam hati. Sungguh aku tak bisa menginginkanmu untuk lebih lama bersamaku, rasanya memori terbaik sehari itu, sudah sangat cukup bagiku.


.........................................................................................................

Memiliki...
Aku ingin memilikimu....
Dia ingin memilikinya....
Mereka ingin memilikinya...
Kalian pun mungkin ingin memilikinya...

Tapi
aku bukan siapa-siapamu...
Dia juga bukan siapa-siapanya...
Mereka bukan siapa-siapanya...
Dan kalian pun bukan siapa-siapanya...

Rina, gadis berkerudung itu, bukan siapa-siapanya. Lelaki tua itu hanya seorang dosen yang telah menganggapnya sebagai anaknya, yang mengisi hari-harinya selama 4 tahun ia menempuh pendidikannya di kampus di pinggiran kota itu. Dan ia harus merelakannya, kembali kepada keluarganya, di hari wisudanya.

Andi juga bukan siapa-siapanya. Zaenudin hanya sahabat karibnya, mereka bertemu di saat MOS di SMU nomor 1 di kota kecil itu. Dan taman mungil di dekat sungai dan Gedung tua PMI itu adalah markas yang menjadi saksi persahabatan mereka selama 3 tahun itu. Dan ia harus merelakannya, melepasnya menjemput impiannya menjadi seorang Perwira di Bukit Tidar.

Mas Rangga pun bukan siapa-siapanya. Ia pertama kali bertemu dengannya saat senyum hangat Mas Rangga menyambutnya di rumah kosan bercat dinding warna kuning pastel itu. Ia masih mahasiswa baru (MABA) kala itu. Dan selama itu, ia mengenal sosok Mas Rangga sebagai seorang kakak yang selalu mendukungnya, membantunya dalam hal apapun selama ia hidup jauh dari orang tuanya di tempat rantau itu. Dan ia harus merelakannya, kembali kepada keluarganya, di malam purnama kala itu.

Bagus bukan siapa-siapanya. Bu Karti hanya seorang janda pensiunan TNI yang terpaksa menyewakan beberapa kamar di rumahnya untuk kos-kosan mahasiswa yang kuliah di kampus di dekat kompleks perumahan yang ia tempati sekarang, untuk menambah pemasukan uang bulanannya yang rasanya sudah tidak cukup lagi bila hanya mengandalkan uang pensiunan almarhum suaminya yang hanya berpangkat kopral itu. Namun, ia sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Bahkan ia sangat canggung saat setiap bulan menerima uang kosan dari Bagus. Rasanya tidak pantas seorang ibu menagih uang kosan dari anaknya sendiri. Dan ia harus merelakannya, kembali kepada keluarganya, di malam dua hari setelah Bagus diwisuda sebagai seorang Sarjana Teknik (S.T.) dari kampus negeri terkenal di kota itu.

Pun dengan Annisa, ia bukan siapa-siapanya. Hubungannya yang paling terang secara profesional hanyalah sebatas Dokter dan Pasien. Namun, selama 2 bulan itu, ia merasa Annisa telah mengisi kekosongan ruang jiwanya yang selama ini beku dan tertutup rapat. Ia seperti menemukan kembali kehangatan taman jiwanya saat ia bisa kembali menjelajah alam mimpinya bersamaan dengan bibirnya yang bersemangat membacakan halaman demi halaman buku-buku cerita yang sengaja ia bawa dari perpustakaan pribadi di rumahnya setiap harinya, di sore menjelang senja, di taman Flamboyan di sudut rumah sakit itu. Dan ia harus merelakannya, kembali kepada Sang Pencipta-Nya, di pagi mendung kala itu.

Sementara Yofi, bukan siapa-siapaku. Tak ingat kapan semua itu bermula, Ia datang mengisi hari-hariku dengan penuh tawa dan luapan semangat yang membumbung mengangkasa. Sumber dari banyak inspirasiku. Merangkai mimpi mencapai asa besar kami. Kehadirannya membuatku selalu ingin menjadi yang terbaik di hadapannya. Dan setelah momen indah itu, aku [berjanji] akan merelakannya, melepasnya terbang bebas menggepakkan sayap kokohnya, menggapai asanya.

.........................................................................................................

Salahkah bila kami berangan memiliki?
Kami memang bukan siapa-siapa[nya], tapi sungguh hati kami telah menjadi miliknya.
Entah sejak kapan kala itu ada.


Jatinangor, 5 Agustus 2010 [0.04 pm]
Didedikasikan : untuk mereka  yang telah dan selalu menjadi sumber inspirasiku
[tanpa kau tahu, hati ini telah menjadi milikmu]


Senin, 11 Juli 2011

Kelana Jiwa


“Pulanglah!”
“Saat ini benar-benar saatmu harus pulang”

“Benar Tuhanku, sekarang aku siap untuk pulang”

.................................................................................................

Di bawah kemilau sinar mentari pagi yang menghangat,
Diiringi lantunan gema Adzan yang membumbung memenuhi ruang putih kokoh nan bersih itu,
Ia pertama kali membuka matanya yang bening,
seraya memuji asma Tuhannya dalam nyaring tangis yang menggelegar,
disambut kalimat syukur dari mereka yang hadir pagi itu.

Ia turun ke bumi, menembus dimensi berlapis,
menyempurnakan buku takdirnya,
dengan satu misi yang ia janjikan di hadapan Tuhannya kala itu.

“Hingga sampai saatnya tiba, kau harus kembali”

.................................................................................................

Senyum mengembang senantiasa memenuhi ruang jiwa dua insan mulia yang merengkuhnya dalam hangat dan penuh akan kasih yang tulus.
Dua hati yang rela menjaganya dari apapun, menuntunnya menelusur taman bernama “kehidupan”,
Dua hati dimana Tuhan meletakkan ridho atas dirinya.

“...melalui himpun kasih putih yang tulus itu, Tuhan menjaga dan mengingatkanku akan janji takdirku”

Sesaat setelah kepergian keduanya, Tuhan pernah memintanya :
“Pulanglah, telah kau penuhi jalan takdirmu”

“Belum Tuhan, ijinkan aku menyelesaikannya, ada jiwa yang masih terikat dengan jiwaku”

.................................................................................................

“Kau boleh merengkuhnya, tapi sekali kau mengikatnya terlalu dalam, ingatlah sekali itu pula tanpa sadar kau tengah mengudarnya”

“Baiklah Tuhan, aku akan memperhatikannya”

.................................................................................................

Beriring angin hangat bulan Agustus,
Tuhan pernah membawanya ke tanah kering berbatu, yang masih mengalir gemericik air di kaki bukitnya,
Menjumpai jiwa-jiwa yang akan menjadi pengisi takdirnya.

Penuh taman jiwanya kala itu, puas dahaga kasihnya tersirami,
Ia melukis romansa paling indah dalam kanvas berbingkai, hadiah dari Tuhannya

Saat tinta terakhir menggoresnya,
Dalam puncak ekstase kasih dan bhakti jiwanya,
Ia (lupa) terlalu dalam menapakkan lekukannya,

Tuhan mengingatkannya : “Tinggalkanlah, sesungguhnya Aku melihatnya”

“Baiklah Tuhan, aku akan memperhatikannya”

.................................................................................................

Selayak musafir, jiwanya kembali mengelana menyusur rona pelangi,
Dan Tuhan membawanya menuju tanah basah nan menghijau, bersamaan dengan tiupan lembut angin bulan April, menerbangkan kelopak bunga krisan memenuhi jalan takdirnya.
Menambatkan hati pada jiwa-jiwa yang akan menjadi pengisi takdirnya.

Jiwanya melambung, azzamnya menggelegar memecah cakrawala bukit kasih,
Ia merasakan nilai jiwanya yang paling sempurna,
Ia menjadi sufi atas hiruk kasih yang mendekapnya,
Ia merasakan pilar takdir benar-benar telah terpancang di tempat yang paling nyata,
Namun, ia (kembali lupa) memancangkannya terlalu dalam,

Dan Tuhanpun kembali mengingatkannya : “Sudahilah, sesungguhnya Aku melihatnya”

“Baiklah Tuhan, aku akan memperhatikannya”

.................................................................................................

Malam ini,
Jiwa itu terkapar dalam balutan kabut tipis nan sunyi,
Nyanyiannya tak lagi runtut ritme,
Ia merebahkan sayap kelanannya,
Tersungkur dalam sujud hatinya yang terdalam,
Remuk dalam tangis dan sendu sedan

.................................................................................................

“Aku akan menyudahinya, sekiranya aku telah memenuhinya, ridho-Mu menjadi pengharapan terakhir janjiku”
“Bahwa aku hanya akan hadir di tengah mereka, menghaturkan Agung kasih-Mu, menjalani jalan takdirku, dan kembali kepada-Mu”

Atas semua ikatan yang terlalu dalam itu, sungguh Engkau telah mengingatkanku, dan sekiranya aku menjadi hamba yang memperhatikan-Mu

.................................................................................................

“Tunggu!”
“Tengoklah di belakangmu, tidakkah kau dengar ada jiwa yang memanggilmu?”
“Penuhilah! Dan tepati janjimu, ingat rambu petunjuk-Ku”

“Baiklah Tuhan, aku akan memperhatikannya”
.................................................................................................

Dan sayap itupun kembali terbentang,
Menjemput jiwa-jiwa yang akan menjadi pengisi takdirnya,
Sebelum Tuhan (kembali) memanggilnya untuk pulang,
Dengan satu janji antara ia dan Tuhan.



Bandung, 1 Desember 2010
[22:48]